Seni Kuda Lumping di Pangandaran, Eksis Sejak Dulu Terpelihara Hingga Kini

- 20 Juni 2024, 11:00 WIB
Kesenian Kuda Lumping di hajatan warga Desa Wonoharjo, Kecamatan Sidamulih, Kabupaten Pangandaran.
Kesenian Kuda Lumping di hajatan warga Desa Wonoharjo, Kecamatan Sidamulih, Kabupaten Pangandaran. /kabar-priangan.com/DOK/

Berikut ini ciri khas lokal seni kuda lumping atau ebeg di daerah Sunda dan Pangandaran yang membedakan dengan daerah lainnya.

Musik atau gamelan

Musik atau gamelan yang menjadi pembeda yaitu klasikan ( yang terdiri dari
gendang, saron, bonang, gong ) dan kolaborasi dengan alat musik yang lebih
lengkap, sedangkan yang menjadi pembeda tarian yaitu di Jawa Tengah.

Baca Juga: Mengenal Seni Kuda Lumping di Pangandaran yang Masih Eksis Hingga Sekarang

Tarian

Gerakan tarian di Jawa Tengah cenderung lebih halus dan teratur, dengan fokus
pada kekompakan dan keindahan formasi. Berbeda dengan Jawa Timur yang
memiliki gerakan lebih dinamis dan bersemangat, dengan penekanan pada gerakan yang kuat dan cepat.

Unsur mistis dan ritual

Di Jawa Tengah, unsur mistis dalam Tari Kuda Lumping biasanya lebih terkendali
dan terstruktur. Terdapat ritual tertentu yang dilakukan sebelum pertunjukan dimulai
untuk menjaga keselamatan penari.

Sedangkan di Jawa Timur unsur mistis lebih dominan dan kadang-kadang lebih ekstrem. Penari sering kali memasuki kondisi trance (kesurupan) yang lebih dramatis, dan berbagai aksi seperti memakan beling (kaca) atau menyemburkan api sering dilakukan.

Menurutnya, para pemain ebeg akan mengalami kehilangan kesadaran dan seolah
dikendalikan oleh roh halus (kesurupan). Ketersediaan sesaji atau menyan yang
digunakan sebagai persembahan kepada para arwah maupun penguasa makhluk
halus disekitar agar mendukung pementasan.

Baca Juga: Begini Nasib Homestay di Desa Selasari, Pangandaran Usai Sepi Pengunjung

"Dengan begitu para pemain ebeg akan mengalami trans atau kerasukan yang sering disebut mendem karena dirasuki oleh makhluk halus. Dan pada akhir pementasan pemain yang dirasuki akan disembuhkan oleh sesepuh grup ebeg. Namun tidak hanya pemain yang bisa mengalami kerasukan, para penonton pun terkadang mengalami kerasukan sehingga membuat pementasan semakin meriah. Ini menjadikan pementasan sedikit lebih kacau tetapi justru inilah yang menjadi ciri khas ebeg," tutupnya.***

Halaman:

Editor: Dede Nurhidayat


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah