Seni Kuda Lumping di Pangandaran, Eksis Sejak Dulu Terpelihara Hingga Kini

- 20 Juni 2024, 11:00 WIB
Kesenian Kuda Lumping di hajatan warga Desa Wonoharjo, Kecamatan Sidamulih, Kabupaten Pangandaran.
Kesenian Kuda Lumping di hajatan warga Desa Wonoharjo, Kecamatan Sidamulih, Kabupaten Pangandaran. /kabar-priangan.com/DOK/

KABAR PANGANDARAN - Seni kuda lumping di Kabupaten Pangandaran sering ditampilkan di beberapa acara seperti hajat laut dan hajatan lainnya sehingga terjadi akulturasi budaya.

Tokoh seni di Desa Wonoharjo, Tursikin mengatakan, kesenian tersebut berasal dari daerah Jawa yang diadopsi warga Pangandaran menjadi salah satu kesenian yang selalu ditampilkan di setiap acara.

Kuda lumping disebut juga jaran kepang atau jathilan adalah tarian tradisional Jawa yang berasal dari Ponorogo, Jawa Timur.

Ada beberapa versi asal usul dari seni kuda lumping ini, salah satu versi menyebutkan gambaran kisah perjuangan Raden Patah yang dibantu oleh Sunan Kalijaga saat melawan Belanda.

"Seiring dengan perkembangan zaman kesenian tersebut berkembang menjadi kuda lumping dengan tetap menjadi salah satu media dakwah Islam, karena berisikan imbauan agar manusia senantiasa melakukan perbuatan baik dan selalu ingat kepada Sang
Pencipta," kata Tursikin, Selasa 18 Juni 2024.

Baca Juga: Gurihnya Surabi Gendut Jadi Sarapan Simpel Ala Mahasiswa Unpad PSDKU Pangandaran

Disebut ebeg karena dalam menari, para penari menggunakan ebeg, yaitu anyaman
bambu yang dibentuk serupa kuda berwarna hitam atau putih yang dipasang
kerincingan. Sedangkan daerah Jawa Timur ebeg ini terbuat dari spon yang di lukis.

Para penarinya mengenakan celana panjang dilapisi kain batik sebatas lutut dan mengenakan mahkota sumping di telinganya.

Sedangkan pergelangan tangan dan
kakinya dipasangi gelang-gelang kerincingan yang membuat setiap gerakan penari
selalu dibarengi bunyi gemerincing.

Halaman:

Editor: Dede Nurhidayat


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah