MusikKuKita, Peryaan Hari Musik Sedunia 2024 Ngaos Art: Kelahiran dan Kematian Berkali-kali dari Rahim Waktu

29 Juni 2024, 07:00 WIB
Seni Instalasi pada acaara MusikKuKita yang diisi oleh para pemain musik 'Street Music', Dan Brown dalam Da Vinci Code mengatakan bahwa pintu gereja yang semakin atas semakin lancip adalah perwujudan dari Gua Garba, tempat kelahiran/ /Kabar Pangandaran//


KABAR PRIANGAN - 21 Juni malam hari, cahaya bulan sedang bagus-bagusnya. Kamu disambut dengan umbul-umbul putih yang berjajar disisi dan kananmu. Lalu 'Gua Garba' menantimu dengan berbagai bebunyian yang siap menyambut kelahiranmu. Laksana kumandang adzan yang dilantunkan pada kelahiran bayi-bayi. Dan setelah lahir, sila untuk memilih bunyi mana yang mau kamu dengar.

Ada Didgeridoo dari bagian utara Australia. Suaranya menggema mirip suara gong yang ditiup, dan akan mengawali perjalanan kamu memasuki ruang-ruang selanjutnya. Disebelah kanan kamu, harmonika berbunyi memainkan irama yang tidak beraturan. Dengan ditiup dan dihisap akan melahirkan bunyi dengan frekuensinya sendiri. Begitu pun dengan kehidupan, kita menghirup dan menghembuskan nafas dengan teratur, tapi jalan takdirnya tidak menentu.

Lalu dihadapanmu ada kecapi, yang dipetik, alat musik dari budaya sunda, walau pemainnya mendendangkan pujian kepada Yang Maha Kuasa, tapi kamu tetap akan merasa, kita sedang berada di atas tanah yang kita pijak. Melangkah lagi, sebuah kontra bass dan gitar beradu dengan hingar musik dari piringan hitam yang berputar. Semua riuh. Ditambah tabuhan jimbe dari pria dengan bersyal merah. Dan kamu juga akan tergoda untuk menggoyangkan badan mendengar alunan musik keroncong, tapi tunggu sebentar, kamu akan diminta untuk berfoto di sebuah spot berisikan beberapa ornamen yang mengingatkan kamu pada perjalanan musik.

Baca Juga: Ngaos Art Lewat MusikKuKita Ramaikan Hari Musik Sedunia 2024: Perayaan yang lahir dari Ide dan Aksi Nyata

Sebuah poster dari kelompok Orkes Melayu "Sinar Remaja" Tasikmalaya terpampang di sana, beberapa jenis radio, kaset pita, piringan hitam, memberikan kesan vintage sementara para pengunjung yang umumnya Gen Z berpose dengan menggunakan style yang kekinian. Tapi itu tak apa, sebab "MusikKuKita" yang digelar oleh Ngaos Art malam itu adalah jembatan untuk latar belakan, budaya, dan pengalaman yang berbeda.

Spot foto MusikKuKita yang vintage, terdapat beberapa benda yang mengisahkan perjalanan musik dari waktu ke waktu, dengan diiringi oleh suara dari piringan hitam/

Selanjutnya, sambil menikmati alunan musik keroncong dari Orkes Keroncong Ngaos Art (OKN), dengan personel Kahfi, Sandi, Ervan, Alvin, Ikhsan Kumis, Rizky, Idan, dan Fikri, kamu disuguhi seporsi angkringan, yang sambal dan bawang gorengnya bisa kamu ambil sendiri dan segelas kopi manis dari Cafe Veloce, satu-satunya sponsor dalam acara tersebut.

Musik keroncong sengaja dipilih karena sudah beberapa dekade, genre yang banyak berakulturasi dengan beragam bunyi nusantara, hingga akhirnya menjadi sebuah aliran yang menggambarkan karakteristik Indonesia, ditinggalkan oleh musisi dan peggemarnya, tapi dalam beberapa tahun belakangan, banyak generasi Milenial dan Gen Z yang mulai menggemari musik ini.

Orkes Keroncong Ngaos Art membawakan banyak lagu lawas dengan gubahan sendiri, membuat penonton ikut berdendang dan berjoget/

Selain itu pilihan tersebut juga merupakan alternatif lain dari beberapa genre musik yang sudah ada di Ngaos Art, beruntungnya didukung juga equipment alat musik yang memadai. Alunan musik dari OKN ini memancing para pengunjung untuk ikut bergoyang dan berdendang. Suasana suka cita tumpah ruah, seperti malam takbir saat menyambut Hari Raya.

Setelah asyik bersenda gurau dengan irama keroncong, kamu akan memasuki ruang yang lebih privat, diintrogasi oleh lagu yang mungkin saja menyenangkan untuk kamu dengar. Atau tidak sama sekali. Tapi sesungguhnya alunan irama tersebut sedang mengaajak kamu menjelajahi isi pikiran, hati, dan kesadaran kamu.

Para penonton berjoget dalam iringan musik dari OKN dalam MusikKuKIta Ngaos Art, Peringatan Hari Musik Sedunia 2024/

Sufisme Urban dalam Ruang Kotak Hitam

Di sebuah kotak hitam, kamu akan disambut dengan profil beberapa musisi legendaris. Lalu sebuah gambar warna warni yang mengantarkan penampilan dari The BoyOut. Lalu suara paduan ska dengan rythem dan blues menjadi harmonisasi raggae, yang hadir dengan dibawakan oleh para personil bertelanjang dada. Sang vokalis lalu menyapa penonton dengan kata bervokal e. Kemudian terdengarlah tawa para penonton.

Malam itu, The BoyOut yang terdiri dari Iki Tuska, Kahfi, Aulia Ahsan, Rifki Mantri, Arianto, dan Aldi, membawaka tiga buah lagu berjudul Politisi, Aku Pernah Melihatmu Tanpa Make Up, dan Enyoy Enjoy. Penonton pun berdiri dan menggerakan tubuhnya, mengikuti irama musik, yang dibuat asyik.

The BoyOut tampil menggairahkan membuat seluruh isi di ruang kotak hitam berkeringat/

Manajer grup musik tersebut, Izal Zae, menjelaskan bahwa The BoyOut merupakan salah satu kelompok musik dari Ngaos Art yang baru saja dibentuk, dan akan menyuarakan kritik sosial, dengan bentuk, gaya, dan performa serta bahasa tubuh yang mencerminkan etnografi kesundaan, dan lirik yang religius.

Kemudian penampil berganti dengan kahadiran alunan petikan gitar dari Bujangga Manik yang 'dewasa'. Terjadi perubahan suasana. Penonton diajak menjelajahi cakrawala yang lebih jauh dan mengawang. Bercerita tentang Mahaprabu, Perempuan dari Timur, dan Lumbung Carita. Katiga personel; Ervan, Gio, dan Adit tampil dengan menggunakan wadrope dengan kain khas salah satu daerah di Indonesia. Sang vokalis bahkan menyematkan sepotong daun hijau pada rambutnya.

Bujangga Manik yang 'dewasa' mengajak penonton mengembara lewat liriknya yang puitis dan sarat makna/

Ada banyak cerita yang disampaikan oleh Bujangga Manik, yang konon setiap kata yang diucapkannya (Bujangga Manik dalam arti sesungguhnya, tokoh dari Kerajaan Majapahit) adalah sabda. Ia mengingatkan kita pada nilai-nilai kerendahan hati dan kearifan. Juga spiritualitas.

Memang bukan hal baru. Tapi perpaduan antara The BoyOut dan Bujangga Manik merupakan wujud ekspresi baru di tengah hiruk pikuk kehidupan urban. Sufisme urban mungkin menjadi istilah yang menarik untuk menggambarkan fenomena di mana nilai-nilai dan ajaran sufistik diadaptasi dan dikomunikasikan melalui media musik yang lebih akrab dengan masyarakat perkotaan.

Permainan kontra bass pada sesi Street Music, MusikKuKita Ngaos Art/

Berbeda dengan bentuk Sufisme tradisional yang terikat pada struktur tarekat (tarekat order) yang ketat, Sufisme Urban menawarkan pendekatan yang lebih cair dan fleksibel. Ia hadir di ruang-ruang publik seperti pengajian, majelis dzikir, dan tentunya dalam bentuk musik yang mudah diakses oleh masyarakat luas.

Musik, dengan kekuatannya menyentuh emosi dan jiwa, menjadi jembatan untuk menyampaikan pesan-pesan spiritual yang terkandung dalam ajaran Sufisme. Syair-syair tersebut sarat dengan metafora cinta ilahiah, pencarian hakikat diri, dan penyatuan dengan Tuhan.

Genre musik yang diadopsi dalam Sufisme Urban pun beragam. Dulu mungkin hanya disampaikan dalam bentuk nasyid, kosidah, kemudian hadir Rhoma Irama dengan orkes dangdutnya. Dengan menampilkan lirik bernuansa Islami dengan aransemen musik kontemporer. Kemudian saat ini hadir Sabyan Gambus, dan Maher Zain di kalangan anak muda yang sukses membius penikmat musik dengan lantunan melodi yang syahdu dan pesan-pesan spiritual yang menyejukkan.

Genre lain seperti pop, rock, dangdut, raggae, dan aliran lainnya turut diwarnai oleh napas Sufisme. Musisi seperti Sheila on 7, Iwan Fals, Dewa 19, Letto, Ras Muhamad, Sujiwo Tejo, yang meramu lirik-lirik yang sarat dengan pencarian makna hidup dan kerinduan kepada Sang Pencipta ke dalam musik populer yang mudah diterima masyarakat.

Untuk musisi indie, Panji Sakti cukup mewakili, saat ini ia sedang digemari para Gen Z, dan banyak diminta untuk 'main' diberbagai tempat, dengan lirik puitis, majas dan pilihan diksi yang sederhana, pencarian dan kerinduan kepada Dia, Pemilik Semseta terasa sampai ke hati pendengarnya dengan ringan.

Munculnya Sufisme Urban tidak lepas dari perkembangan masyarakat kota yang semakin heterogen dan kompleks. Kehidupan urban yang penuh kompetisi, tekanan, dan individualisme terkadang menimbulkan perasaan hampa dan spiritualitas yang terabaikan. Sufisme Urban menawarkan oase di tengah gurun kehidupan kota, memberikan ruang bagi masyarakat untuk terhubung dengan nilai-nilai spiritual dan menemukan ketenangan batin.

Pun dengan generasi Gen Z yang memdapatkan arus informasi begitu besar, dan terombang-ambing di dalam gelombang tersebut. Tanpa dibarengi dengan jiwa yang kokoh, sehingga lapangan kerja psikolog terbuka sangat lebar. Generasi ini menjadi pasar yang tepat untuk lirik-lirik syarat makna, yang tengah digemari, kemudian mendaku diri sebagai 'anak senja'.

Istilah yang digunakan untuk menggambarakan anak-anak muda yang biasanya suka dengan musik indie, suka travelling dan minum kopi menikmati pemandangan sambil membicarakan atau memikirkan hal-hal mendalam seperti kematian, masa depan, dan sejenisnya. Dan mereka mendapatkan energi dari perenungan tersebut. Meski pun saat ini, istilah tersebut sering disalah artikan dengan menyebut anak muda yang mudah atau sering galau.

Untuk generasi sebelumnya, generasi X dan Y - yang kemudian disebut generasi milenial- mulai berkembang istilah slow living. Yaitu pilihan gaya hidup yang lebih santai, sederhana, tapi bermakna. Sebuah antitesis dari fenomena yang saat ini sedang terjadi. Dan itulah yang disuarakan oleh The BoyOut -pelesetan dari kata the Boyot, sebuah kata dari Bahasa Sunda, yang artinya tertinggal karena terlalu santai.

Para penganut Sufisme Urban meyakini bahwa dzikir (pengingat Allah) dan cinta kepada Tuhan tidak hanya dilakukan melalui ritual ibadah semata. Dzikir bisa dilakukan melalui segala aspek kehidupan, termasuk dalam berkarya seni seperti musik. Musik yang sarat pesan spiritual dapat menjadi media untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan mengingatkan manusia akan fitrah-nya sebagai hamba yang senantiasa mencari ridho Ilahi.

Dan hal itulah yang ingin ditampilkan oleh KataSwara, band ketiga di yang tampil di dalam kotak hitam berdinding semen tersebut. Dengan dibuka oleh tampilan artistik industrialis yang kasar dan berkarakter, dipercantik dengan multimedia dan lampu pentas, memperlihatkan para personil yang hitam putih. Mengingatkan pada dualitas yang menghakimi, dan kamu akan terus dihakimi sampai akhir acara, lewat syair-syair yang intimidatif, meski sang musisi mendaku bahwa mereka sedang berdzikir.

Penampilan KataSwara dalam kostum hitam putihnya, menutup gelaran MusikKuKita Ngaos Art/

KataSwara meneror kamu tentang apa yang selama ini kamu lakukan, dengan hanya menatap layar berukuran 6 inci,lalu menyapamu dengan lirik dari lagu Tatap, yang mengatakan bahwa "Kita tak pernah benar-benar bertemu dengan wujudNya, tatap kita selalu tertuju pada dunia".

Dengan genre Rock Alternatif, KataSwara yang beranggotakan Alvin, Idan, Helda, Ihsan Kumis, Kahfi, dan Destya, melantunkan lagu selanjutnya yang tak kalah menohok, yaitu Manusia, yang menyatakan "belajar menjadi pengecut yang baik, demi mati yang cuma satu kali,"

Dan pada lagu pamungkas yang berjudul Matematika, yang mangatakan untuk "tetaplah jadi baik, meski aku tidak baik." dengan kata yang diucap berulang-ulang secara bersamaan oleh ketiga personil, tanpa pembagian nada, tapi justru menjadi harmoninya sendiri, dan sang kreator, Alvin Nurul Azmi mengatakan bahwa pola tersebut ia adaptasi dari berdzikir.

Tentunya, kehadiran Sufisme Urban juga memicu diskusi dan perdebatan. Ada pandangan yang mempertanyakan keabsahan praktik dzikir melalui media musik. Penggunaan instrumen musik dalam kegiatan spiritual dianggap oleh sebagian pihak sebagai hal yang bid'ah. Tapi, perlu dicatat bahwa sepanjang sejarah, musik senantiasa memainkan peran penting dalam tradisi keagamaan. Sufi ternama seperti Jalaluddin Rumi dan Rabia'ah al-Adawiyah dikenal kerap menggunakan musik dan tarian dalam praktik dzikir mereka.

Pada akhirnya, Sufisme Urban menawarkan alternatif dalam pengalaman spiritual masyarakat kota. Ia menjadi bukti bahwa pencarian Tuhan dan cinta ilahiah dapat dilakukan melalui berbagai media, termasuk musik. Dengan terus berinovasi dan mengedepankan nilai-nilai universal yang terkandung dalam ajaran Sufisme, Sufisme Urban berpotensi menjadi jembatan yang menghubungkan spiritualitas dengan kehidupan masyarakat urban yang dinamis.

Baca Juga: Ngaos Art Peringati Hari Musik Dunia 2024 pada 21 Juni Bertajuk MUSIKUKITA; Jembatan Budaya dan Pengalaman

Setelah seluruh rangkaian acara selesai, kamu bisa keluar dari kotak kitam tersebut dengan menyunggingkan senyum, seolah keluar dari penyucian diri massal, dan terlahir kembali dengan emoticon baru di wajah kamu. Sebagaimana yang terjadi pada hidup sesungguhnya, kita dibangun dan dihancurkan, kemudian dibangun kembali, lalu dihancurkan lagi. Sambil menyebut namanya, Bismika Allohuma Ahya Wa Bismika Amuut.***

Editor: Kiki Masduki

Tags

Terkini

Terpopuler